dibalik pernikahan kami kemarin, ada cerita soal Prewedding. Hehe..
My man,
Pekerja kantoran yang suka moto. Sukaaa banget. Kataku mah, mendarah daging ampe ke keringet-keringet nya. Passion aja gitu. Aku masih ingat, suatu sore yang cerah waktu kami pacaran, kami bertengkar hebat. Lalu kutinggalkan dia naik taxi pulang ke rumah orang tua nun jauh di sana. kayak di tipi tipi kelir gitu. Eh trus dia ngapain? Moto! Hahahaha. Tak lama setelah kupergi, dia berlari ke jembatan penyebrangan dan moto moto in langit, jalanan serta kantorku. Kendaraannya ditinggal di parkiran, akunya ga dikejar, dan dia moto. astaga. Baru keesokan pagi nya, pagi-pagi buta dia menjemputku di rumah orangtua ku itu.
sedangkan Diriku,
Pekerja kantoran yang suka nulis. Apaaa aja kutulis. Kalo kamu iseng, pasti bisa tuh nemu berbagai ukuran kertas dan tulisan di sekitarku, mulai di dompet, di tas, di selipan handphone, di dinding kamar, di balik pintu, di pinggir kasur dan di meja kerja kantor tentu saja. Tipe nulisku masih klasik, aku lebih nyaman dengan pena dan kertas atau mesin ketik, daripada tekhnologi canggih, meski direct email dan blog juga kumiliki guna memenuhi tuntutan sosial haha.
Nah nah, intinya adalah aku gak suka di foto. Menurutku foto itu harus natural, harus betul - betul menangkap moment yang ada. Natural yang ditangkap itu pasti moment yang merupakan bagian kehidupan, ada yang bagus, ada yang biasa, ada yang menyedihkan, dst. Moment itu harus jujur karena foto adalah bagian dari sejarah situasi yang telah terjadi. Misalnya hari ini, ketika melihat foto masa kanak-kanak, kita akan pasti langsung teringat moment apa saat itu. Misalnya betapa bahagia dibelikan kue ulang tahun di hari ultah ke 5, dan seterusnya. Maka 10 tahun lagi, ketika melihat foto hari ini, pasti kita teringat moment hari ini. Aku tak ingin bahwa 10 tahun lagi itu aku ingat bahwa hari ini dipaksa senyum untuk dipaksa difoto. Hahahaha.
"di foto" itu biasanya, konon, diharuskan untuk tampil apik. Indah. Menarik. Yahud. Berkarakter. Ada tema nya, ada konsepnya. oh Shit, gua gak suka pura - pura. Well, aku pernah kok suka banget sama dunia peran dan teater dan setelah perjuangan panjang latihan 4 jam setiap hari selama 4 bulan, berhasil meraih juara umum dan aktris terbaik lomba teater yang diadakan se Kotamadya Malang. Lalu aku tersadar, what for? Hidup ini sudah dunia sandiwara, Bung. Tak perlu kau tambahkan lagi.
Nah kemudian, My man tak bisa mengarahkan ku bergaya di depan camera. Ouch, aku alergi. Hehehe. Alhasil, Prewedding kami lakukan ber kali kali kali kali. Antara lain di Gunung Bromo, Gunung Prau, Restoran Menya Sakura, Kopi Tiam Oei Sabang, Bakmi Gang Kelinci, Pasar Seni Ancol. Mulai dari moto sendiri pake remote control khusus untuk SLR Camera, difotoin teman, difotoin saudari tercintaku, sampe akhirnya yang terakhir difoto 3 orang fotografer profesional. Di Hasilnya, tetep aja sama. Haha.
Ada seorang fotografer profesional yang membuatku langsung begidik ketika memotoku. Begini katanya eh, ini lokasinya sama pas gue moto model si XXX. bagus kan tuh bangunannya, sudut nya, angle nya. Nah ini langitnya pas nih lagi begini, nah tuh bintang nya juga pas nih, nah waktu itu bulan begini juga nih pas gua moto nya. Nah tuh sinar lampunya pas. Lo masuk deh berdua di situ, pose nya begitu. Nah tuh bener, persis kalian ama tuh model si XXX. bagus kan hasilnya.
Gua langsung muntah-muntah - tapi dalam hati sih. Helow gua mau kawin, bukan model. Apa esensi fotografer profesional itu memoto kami berdua di posisi persis seperti model XXX. Damn shit, bukankah tiap manusia harus dihargai? Bukankah foto pre wedding itu harus menampakkan keindahan calon pengantin nya? Bukankah harus menangkap moment apik calon pengantin? Oh shit, gua harap fotografer template begitu cepet kadaluarsa. Hehe.
Baiklah akhirnya, sesudah perjalanan panjang memilih foto, ini hasilnya:
Pasar Seni, Ancol |
moto sendiri
Gunung Prau |
Comments