Pagi itu,
saya melihat perahu ikan yang berbeda.
Perahu itu tidak diisi ikan, melainkan diisi banyak orang. Banyak banget. Saking banyaknya, saya nggak bisa ngitungnya. Pokoknya, setiap orang duduk di lantai geladak dan atap perahu, dalam posisi duduk. Nggak bisa selonjor. Jadi ya kira-kira aja, sebanyak apa. Ato kalo mau, hitung sendiri. Pergilah ke Muara Angke, beli lah sebuah tiket ke sebuah pulau yang juga bisa kau pilih.
Setelah sekitar satu jam, ombak menggoncang kapal, air masuk lewat jendela kiri dan kanannya, mengguyur sekitar lima orang, banyak orang lain mulai pusing, seseorang di samping saya menutup wajahnya dengan kantong plastik, memindahkan isi perutnya ke sana dan menyisakan bau.
Tiba-tiba seorang teman baik yang tadinya duduk di atap kapal berhasil merangsek masuk, duduk bersempit-sempit diantara carrier, dan tersenyum. Kuberikan gitar padanya. Senyumnya berubah unik. Tapi dia membuka tas gitar itu, dan memetiknya, sambil terhuyung ke sana ke mari.
Ini lagunya...
saya melihat perahu ikan yang berbeda.
Perahu itu tidak diisi ikan, melainkan diisi banyak orang. Banyak banget. Saking banyaknya, saya nggak bisa ngitungnya. Pokoknya, setiap orang duduk di lantai geladak dan atap perahu, dalam posisi duduk. Nggak bisa selonjor. Jadi ya kira-kira aja, sebanyak apa. Ato kalo mau, hitung sendiri. Pergilah ke Muara Angke, beli lah sebuah tiket ke sebuah pulau yang juga bisa kau pilih.
Pagi itu saya merasa menaiki transportasi paling buruk se Indonesia, se masa hidup saya. Hehe iya lebay. Saya baru berusia 26 tahun. Di Indonesia, transportasi umum yang pernah saya naiki baru pesawat, kereta api, kapal fery dan speed boat. Saya pernah naik kapal ikan dalam arti sebenarnya, kapal yang malamnya diisi tiga orang awak kapal, dibawa ke tengah laut untuk menangkap ikan. Kapal itu merapat subuh-subuh, menurunkan ikan-ikan segarnya, dibersihkan sesaat, lalu kami tumpangi. Berbeda. Kapal itu jauh lebih indah dari kapal ini. Sedangkan Speed boat yang saya tumpangi rute Tarakan - Nunukan, dua mesin, diisi hanya 18 orang dengan kapasitas dua puluh orang. Saat itu memerlukan waktu sekitar tiga jam menyeberangi laut yang tidak dalam, dengan pemandangan gundukan pasir di sana sini, tapi itu safe. Ada banyak pelampung terlihat di dalam ruang kemudi.
Setelah sekitar satu jam, ombak menggoncang kapal, air masuk lewat jendela kiri dan kanannya, mengguyur sekitar lima orang, banyak orang lain mulai pusing, seseorang di samping saya menutup wajahnya dengan kantong plastik, memindahkan isi perutnya ke sana dan menyisakan bau.
Kapal mendadak merapat ke sebuah Pulau yang ternyata namanya Pramuka. Banyak orang turun, disusul banyak orang naik. Apakah kamu pernah naik busway yang penuh sesak hingga pintu tak bisa ditutup? Kejadian ini sama persis, bedanya ini kapal yang mengapung di laut kita yang kecoklatan di pinggir pantainya. Aku berusaha optimis bahwa desainer kapal ini pasti nggak kenal sama desainer Titanic, meyakinkan diri sendiri bahwa tidak akan ada orang jatuh atau apapun itu namanya.
Tiba-tiba seorang teman baik yang tadinya duduk di atap kapal berhasil merangsek masuk, duduk bersempit-sempit diantara carrier, dan tersenyum. Kuberikan gitar padanya. Senyumnya berubah unik. Tapi dia membuka tas gitar itu, dan memetiknya, sambil terhuyung ke sana ke mari.
Ini lagunya...
Comments