Hari ini hari minggu, waktunya saya pergi berdoa. Maka misi hari ini pergi ke gereja menarik berbentuk klenteng, Paroki St. Maria De Fatima yang terletak di Jln Kemenangan III no 47 Glodok.
Konon, nama Toasebio diambil dari nama Vihara terdekat. Maka foto disamping ialah foto yang saya ambil dari Vihara tak jauh dari Gereja.
Toasebio Church is one of the Churches that serve the Mandarin-language Mass, every Sunday at 4.15pm.
Saya tiba pk 9.00 dengan ojek. Tak disangka, sudah banyak umat berkumpul di Gereja, padahal misa baru akan dimulai pukul 9.30. Ada lima kali misa setiap hari Minggu, yaitu pk 06.00; 07.30; 09.30; 16.15 (berbahasa Mandarin) dan 18.00. Dari mana saya tahu? silahkan cek www.santamariadefatima.org :)
Bangku gereja terbuat dari kayu. Yang membuatnya berbeda ialah ukurannya yang sedikit lebih mungil dari gereja-gereja yang biasa saya datangi. Tinggi badan saya 160 cm dengan panjang kaki dan tangan proporsional. Maka sebagai perbandingan, saya bisa duduk dengan kaki menapak, dan ketika bersujud, telapak tangan bisa menumpu dagu dengan sukses, yang berarti ukurannya pas dengan lengan dan siku. What a lovely! Seakan sudah diukur tepat untuk ukuran orang asia. Panti imam, altar dan tabernakel di desain khas ukiran Cina berwarna merah. Warna dan suasana itu mengingatkan saya dengan film judge Bao di jaman pemerintahan Kaisar. Disamping ini macan berfoto dengan macan hehe, patung penjaga pintu depan Gereja.
Kali ini saya pergi sendiri dan agak kurang nyaman karena enam hari kemarin selalu beramai-ramai. Universe hear me, dua teman baik menyapa saya. "Hai Jil!" Ah senangyo! Kami akhirnya makan berlima dan membahas keindahan gereja serta lingkungan sekitar. Mereka antusias menawari saya berbagai macam makanan. Mulai pempek, siomay, baso, mie, wotie sampai cempedak goreng. All delicious! ahh..
Tukang pempek depan Gereja sudah jualan sejak teman saya SD dan sampai sekarang masih berjualan di situ. Konon ada yang sudah beranak cucu, sudah punya rumah sangat besar di kampung, dst. Di sini saya belajar tentang ketekunan dan kesetiaan.
Menuju Jalan Pancoran - Glodok kami melewati jalan kecil yang dipadati banyak penjual makanan, perhiasan dan alat rumah tangga. Di salah satu rumah, tampak seorang bapak sedang menulis huruf cina di kain merah. Ternyata, beliau sedang menulis nama seorang ayah yang akan menikahkan anak perempuan pertamanya. Saya pernah belajar Mandarin ketika kuliah, dan hanya satu bentuk yang saya ingat - yang seperti kotak bentuk delapan. Itu artinya matahari, dan bentuk disampingnya berarti bulan (ups belum ditulis si bapak ketika kufoto hihi) Ketika dua bentuk itu disatukan, dibaca "Ming" yang artinya terang. Iya, setiap bentuk memiliki arti dan falsafah, kurasa itu mengapa ada peribahasa "belajarlah sampai Negri Cina".
Ada tante penjual perhiasan yang tidak berbicara bahasa Indonesia. Hiks, ketika dia ngomong panjang lebar, saya hanya bilang "wo bu ce tao" (pinyinnya gmana ya? :D) sambil memanggil teman saya. Oh cincin giok itu harganya Rp 15.000 katanya, kalau yang lebih besar Rp 25.000. Gelang Rp 125.000 dan lain sebagainya
Anyway, gereja ini dilindungi dinas museum dan sejarah, untuk dilestarikan. Its wow!
Kali ini saya pergi sendiri dan agak kurang nyaman karena enam hari kemarin selalu beramai-ramai. Universe hear me, dua teman baik menyapa saya. "Hai Jil!" Ah senangyo! Kami akhirnya makan berlima dan membahas keindahan gereja serta lingkungan sekitar. Mereka antusias menawari saya berbagai macam makanan. Mulai pempek, siomay, baso, mie, wotie sampai cempedak goreng. All delicious! ahh..
Tukang pempek depan Gereja sudah jualan sejak teman saya SD dan sampai sekarang masih berjualan di situ. Konon ada yang sudah beranak cucu, sudah punya rumah sangat besar di kampung, dst. Di sini saya belajar tentang ketekunan dan kesetiaan.
Menuju Jalan Pancoran - Glodok kami melewati jalan kecil yang dipadati banyak penjual makanan, perhiasan dan alat rumah tangga. Di salah satu rumah, tampak seorang bapak sedang menulis huruf cina di kain merah. Ternyata, beliau sedang menulis nama seorang ayah yang akan menikahkan anak perempuan pertamanya. Saya pernah belajar Mandarin ketika kuliah, dan hanya satu bentuk yang saya ingat - yang seperti kotak bentuk delapan. Itu artinya matahari, dan bentuk disampingnya berarti bulan (ups belum ditulis si bapak ketika kufoto hihi) Ketika dua bentuk itu disatukan, dibaca "Ming" yang artinya terang. Iya, setiap bentuk memiliki arti dan falsafah, kurasa itu mengapa ada peribahasa "belajarlah sampai Negri Cina".
Ada tante penjual perhiasan yang tidak berbicara bahasa Indonesia. Hiks, ketika dia ngomong panjang lebar, saya hanya bilang "wo bu ce tao" (pinyinnya gmana ya? :D) sambil memanggil teman saya. Oh cincin giok itu harganya Rp 15.000 katanya, kalau yang lebih besar Rp 25.000. Gelang Rp 125.000 dan lain sebagainya
Anyway, gereja ini dilindungi dinas museum dan sejarah, untuk dilestarikan. Its wow!
Comments