ada banyak kios pernak-pernik dalam bangunan Jungceylon Mall. Kebanyakan menjual gantungan kunci dan benda-benda kecil dengan harga kurang lebih sama. Saya mencari sesuatu yang berbeda. Setelah melihat banyak bentuk, aku tertarik dengan bentuk kerang berwarna merah muda dan putih. Manis.
Ternyata, benda ini milik Santiago. Setahun kemudian, kami menyadarinya ketika berjalan bersama, dengan ransel di pundak kami berdua.
Baiklah, kuceritakan dari awal bagaimana perjalanan ini bermula
…
Setelah meninggalkan Jungceylon mall, saya menumpang Scoopy coklat untuk pergi ke Utara. Peta dan uang sebagai bekal perjalanan kubawa. Jalanan selalu mulus dan arahnya selalu mengejutkan. Iya, sebenarnya hanya ada arah kiri dan kanan atau naik dan turun, namun jarak serta pemandangan tidak pernah sama.
Pukul dua siang, saya turun di restoran. Meraih segelas minuman hangat dan roti tanpa isi, memilih sofa di pinggir jendela demi kenyamanan tulang punggung dan tulang ekor, setelah berhari-hari tak berhenti.
Tiba-tiba seorang asing datang dengan ransel dan sepatu convers bolong, khas nature backpacker. Dia memperkenalkan diri penuh percaya diri lalu bertanya ke mana aku akan pergi. Kami berdiskusi tentang rute mana yang selanjutnya akan kutempuh. Setelah sepakat, aku membubuhkan tanda tangan di kertas kuning polos, tanda perjalanan dimulai. Dia memberiku benda kecil hasil utak atik kertas sedotan, benda mungil bermakna: dimana hatimu berada, di situlah hartamu berada.
Langkah pertama kulalui sendiri. Aku pergi ke sebuah tempat dimana kekayaan dan kecerdasan menjadi Raja. Sebagian diriku masih ingin tinggal di kamar tak mau bangun pagi. Karena waktu yang berbicara, aku bergerak berdasarkan intuisi dan emosi. Air mata mengaburkan pandanganku.
Lalu tiba-tiba orang asing itu muncul lagi, menatap mata dan mengangkat ranselku sambil memberi sebuah petunjuk yang kemarin lupa dia sampaikan: melangkahlah demi kemuliaan Allah.
Aku serta merta berlari ke rumah Allah. apa maksudMu, Allah? Tentu tak ada jawaban dari Pieta.
Menu makan malam hari itu soto ayam rasa rumah. Saya menyerah pasrah dan memutuskan pulang ke rumah. Saya tahu selalu ada banyak makanan di rumah. Lalu seorang teman seperjalanan berteriak lantang: "tak ada yang perlu kau takutkan karena kau memiliki semuanya, bahkan masa depanmu pun sudah pasti!" Dia nyerocos menyebutkan hal-hal duniawi. Ah! Aku memang suka sesuatu yang specific, measurable, achievable, realistic dan ber time frame seperti ini, tetapi aku belum cukup percaya.
Saya tertatih memilih langkah kedua tanpa kacamata. Dalam benakku, kacamata dan air mata berkawan. Itu benar, karena keduanya membingkai dan mengaburkan pandangan, ada selintas bayang-bayang semu ungu masa lalu. Aku beruntung bertemu seorang petani. Dia bercerita bagaimana sawah bisa membuat benih padi menjadi beras. Dia menjelaskan bagaimana alam semesta bekerjasama dengan air dan matahari dan ilalang, dan bagaimana petani itu bersama istri dan anak-anaknya membajak, menanam dan ber panen. Kukait-kaitkan analogi nya dengan pilihan keduaku. Kepalaku pusing.
Tiba-tiba aku melihat orang asing sedang berdiri sendiri dikejauhan. Kuhampiri dan kupeluk tubuhnya. Melihatku terguncang, dia berkata “bagikan padaku jika kau sudah siap. Aku tetap di sini”
Kulepaskan pelukanku dan memilih langkah ketiga. Tak disangka, kali ini jauh lebih mudah. Pikiran, hati dan semangatku memiliki memori kecerdasan. Banyak hal kuselesaikan dengan cepat tepat tanpa tepuk tangan. Kepuasan tercipta dan hati berbahagia.
Langkah keempat mengalir. Seperti kata orang Cina, 4 ialah angka kematian. Disini kematianku. Iblis malaikat yang dikutuk Tuhan menjelma menjadi laki-laki tampan mengulurkan tangan dan kuraih cepat lalu kugenggam erat-erat. Uangku habis, petaku tercabik-cabik. Aku kehilangan arah dan terduduk takhluk. Lima puluh sembilan bintang memancar terang di langit gelap tanpa andromeda.
Kutanyakan arah pada orang asing itu. Dia bilang pernah menjadi nelayan. Mereka membaca arah lewat rasi bintang. Setelah mendengarkanku dengan sabar ia berkata: memaafkan itu bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri. Kita melakukannya agar menjadi lebih baik dan terus maju. Aku menampik para iblis pelan-pelan dan menghidupi hatiku perlahan. Kuputuskan untuk menikmati hari ini dan tak menghiraukan kemarin atau masa depan. Hari ini present, hadiah indah berlimpah.
Akhirnya tiba untuk memilih langkah terakhir. Ditemani sepatu convers pink yang sudah lama tidak kupakai, aku rakus membawa semua benda duniawi dalam dua ransel besar. Pagi itu langit berwarna biru, seperti warna terakhir balon anak kecil. Sedikit malu, tapi aku yakin pecahnya cermin besar di kamarku ialah pertanda akhir dari semuanya.
Aku mengajak serombongan anjing penjaga bermobil ke Selatan. Sambil tertawa-tawa tanpa peta dan uang, kami tersesat beberapa kilometer dan terlambat beberapa jam. Aku pemimpin rombongan yang tak tahu arah. Aku menyesatkan mereka!
… kunikmati pemandangan sambil membisu, teringat ajaran silent Ajahn Brahm…
Syukur kepada Allah, kebisuan mengarahkanku pada bentuk syukur. Malam itu Dia menemaniku. Aku tahu itu. Setelah segala ritual selesai, samar-samar kulihat orang asing ada di sana. Dalam terang lilin, aku melihat jelas wajahnya.
Dia Santiago. Dia bukan ahli kimia, rubah, onta, domba atau anak kecil. Dia peziarah yang selalu ada di sekitarku karena simbol tanda ijin peziarah nya terbawa daku!
Ya, aku ingat memang dialah yang memelukku ketika aku menangis, membuatkan kopi ketika aku marah dan selalu melihat, mendengar, memperhatikan serta menganalisa. Dia tak pernah membuka mulut, meski delapan gerahamnya masih utuh dan putih bersih.
Kuhampiri dirinya dan berkata “simbol kerangmu ada padaku, maka ... "
Ternyata, benda ini milik Santiago. Setahun kemudian, kami menyadarinya ketika berjalan bersama, dengan ransel di pundak kami berdua.
Baiklah, kuceritakan dari awal bagaimana perjalanan ini bermula
…
Setelah meninggalkan Jungceylon mall, saya menumpang Scoopy coklat untuk pergi ke Utara. Peta dan uang sebagai bekal perjalanan kubawa. Jalanan selalu mulus dan arahnya selalu mengejutkan. Iya, sebenarnya hanya ada arah kiri dan kanan atau naik dan turun, namun jarak serta pemandangan tidak pernah sama.
Pukul dua siang, saya turun di restoran. Meraih segelas minuman hangat dan roti tanpa isi, memilih sofa di pinggir jendela demi kenyamanan tulang punggung dan tulang ekor, setelah berhari-hari tak berhenti.
Tiba-tiba seorang asing datang dengan ransel dan sepatu convers bolong, khas nature backpacker. Dia memperkenalkan diri penuh percaya diri lalu bertanya ke mana aku akan pergi. Kami berdiskusi tentang rute mana yang selanjutnya akan kutempuh. Setelah sepakat, aku membubuhkan tanda tangan di kertas kuning polos, tanda perjalanan dimulai. Dia memberiku benda kecil hasil utak atik kertas sedotan, benda mungil bermakna: dimana hatimu berada, di situlah hartamu berada.
Langkah pertama kulalui sendiri. Aku pergi ke sebuah tempat dimana kekayaan dan kecerdasan menjadi Raja. Sebagian diriku masih ingin tinggal di kamar tak mau bangun pagi. Karena waktu yang berbicara, aku bergerak berdasarkan intuisi dan emosi. Air mata mengaburkan pandanganku.
Lalu tiba-tiba orang asing itu muncul lagi, menatap mata dan mengangkat ranselku sambil memberi sebuah petunjuk yang kemarin lupa dia sampaikan: melangkahlah demi kemuliaan Allah.
Aku serta merta berlari ke rumah Allah. apa maksudMu, Allah? Tentu tak ada jawaban dari Pieta.
Menu makan malam hari itu soto ayam rasa rumah. Saya menyerah pasrah dan memutuskan pulang ke rumah. Saya tahu selalu ada banyak makanan di rumah. Lalu seorang teman seperjalanan berteriak lantang: "tak ada yang perlu kau takutkan karena kau memiliki semuanya, bahkan masa depanmu pun sudah pasti!" Dia nyerocos menyebutkan hal-hal duniawi. Ah! Aku memang suka sesuatu yang specific, measurable, achievable, realistic dan ber time frame seperti ini, tetapi aku belum cukup percaya.
Saya tertatih memilih langkah kedua tanpa kacamata. Dalam benakku, kacamata dan air mata berkawan. Itu benar, karena keduanya membingkai dan mengaburkan pandangan, ada selintas bayang-bayang semu ungu masa lalu. Aku beruntung bertemu seorang petani. Dia bercerita bagaimana sawah bisa membuat benih padi menjadi beras. Dia menjelaskan bagaimana alam semesta bekerjasama dengan air dan matahari dan ilalang, dan bagaimana petani itu bersama istri dan anak-anaknya membajak, menanam dan ber panen. Kukait-kaitkan analogi nya dengan pilihan keduaku. Kepalaku pusing.
Tiba-tiba aku melihat orang asing sedang berdiri sendiri dikejauhan. Kuhampiri dan kupeluk tubuhnya. Melihatku terguncang, dia berkata “bagikan padaku jika kau sudah siap. Aku tetap di sini”
Kulepaskan pelukanku dan memilih langkah ketiga. Tak disangka, kali ini jauh lebih mudah. Pikiran, hati dan semangatku memiliki memori kecerdasan. Banyak hal kuselesaikan dengan cepat tepat tanpa tepuk tangan. Kepuasan tercipta dan hati berbahagia.
Langkah keempat mengalir. Seperti kata orang Cina, 4 ialah angka kematian. Disini kematianku. Iblis malaikat yang dikutuk Tuhan menjelma menjadi laki-laki tampan mengulurkan tangan dan kuraih cepat lalu kugenggam erat-erat. Uangku habis, petaku tercabik-cabik. Aku kehilangan arah dan terduduk takhluk. Lima puluh sembilan bintang memancar terang di langit gelap tanpa andromeda.
Kutanyakan arah pada orang asing itu. Dia bilang pernah menjadi nelayan. Mereka membaca arah lewat rasi bintang. Setelah mendengarkanku dengan sabar ia berkata: memaafkan itu bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri. Kita melakukannya agar menjadi lebih baik dan terus maju. Aku menampik para iblis pelan-pelan dan menghidupi hatiku perlahan. Kuputuskan untuk menikmati hari ini dan tak menghiraukan kemarin atau masa depan. Hari ini present, hadiah indah berlimpah.
Akhirnya tiba untuk memilih langkah terakhir. Ditemani sepatu convers pink yang sudah lama tidak kupakai, aku rakus membawa semua benda duniawi dalam dua ransel besar. Pagi itu langit berwarna biru, seperti warna terakhir balon anak kecil. Sedikit malu, tapi aku yakin pecahnya cermin besar di kamarku ialah pertanda akhir dari semuanya.
Aku mengajak serombongan anjing penjaga bermobil ke Selatan. Sambil tertawa-tawa tanpa peta dan uang, kami tersesat beberapa kilometer dan terlambat beberapa jam. Aku pemimpin rombongan yang tak tahu arah. Aku menyesatkan mereka!
… kunikmati pemandangan sambil membisu, teringat ajaran silent Ajahn Brahm…
Syukur kepada Allah, kebisuan mengarahkanku pada bentuk syukur. Malam itu Dia menemaniku. Aku tahu itu. Setelah segala ritual selesai, samar-samar kulihat orang asing ada di sana. Dalam terang lilin, aku melihat jelas wajahnya.
Dia Santiago. Dia bukan ahli kimia, rubah, onta, domba atau anak kecil. Dia peziarah yang selalu ada di sekitarku karena simbol tanda ijin peziarah nya terbawa daku!
Ya, aku ingat memang dialah yang memelukku ketika aku menangis, membuatkan kopi ketika aku marah dan selalu melihat, mendengar, memperhatikan serta menganalisa. Dia tak pernah membuka mulut, meski delapan gerahamnya masih utuh dan putih bersih.
Kuhampiri dirinya dan berkata “simbol kerangmu ada padaku, maka ... "
Comments
*aku belum selesai baca buku pilgrimage anyway
tapi ini pilgrimage nya jilo :)