Ini adalah sebuah kota. Terletak di Propinsi Kalimantan Timur dan berbatasan dengan Negara Malaysia. Dari Jakarta, kita harus terlebih dulu terbang ke Banjarmasin lalu diteruskan ke kota Tarakan.
Kota Tarakan berbeda pulau dengan kota Banjarmasin, dan Nunukan juga pulau yang berbeda pula. Maka dari Kota Tarakan, kita dihadapkan pada dua pilihan untuk mencapai Nunukan: terdapat 2kali penerbangan (pagi dan sore) dan ada empat hingga lima kali pelayaran dengan speed boat. Setelah menimbang-nimbang, hari itu kami memilih pilihan kedua! Yiha!
Speed boat kami bertolak pukul 15 sore WITA. Kapal dgn kapasitas 20orang itu digerakkan dengan mesin (istilahnya 3mesin). Maka, kami akan tiba dalam 2jam.
Laut lepas ini dangkal, di kiri kanan masih terlihat gunungan pasir kecoklatan. Saya duduk dekat kemudi dan dia bercerita bahwa minggu lalu perahu mereka karam di situ. Lalu bagaimana bisa kembali? Cara pertama adalah menunggu air pasang, atau menunggu perahu lain lewat. Haha! Teman laki-laki saya pernah menjadi pelaut. Dia sangat menikmati ayunan kapal dihempas ombak. Angin laut sepoi-sepoi menidurkannya.
Kami tiba di dermaga sesuai jadwal, dijemput hujan. Seorang teman sudah siap menjemput dan mengantarkan kami putar-putar kota. Ada sebuah alun-alun di sana. Tidak ada pompa bensin, adanya kios penjual bensin literan yang diambil dari Tawau, Malaysia. Ada sebuah bangunan besar berbentuk sekolahan yang telah dibangun beberapa tahun sebelumnya, tetapi sayang sekali tidak dilanjutkan. Di malam hari, bangunan itu terlihat seperti rumah hantu :)
Loket penerbangan, bandara, dan pasar ikan banyak di sana. Selain itu, ada juga kantor imigrasi. Ya, Nunukan ialah pintu menuju Malaysia, dimana lapangan kerja kebun kelapa sawit terbuka untuk WNI. Sayangnya, tak semua WNI kita bisa membaca. Maka ketika mereka dibohongi, sempat terjadi pemulangan besar-besaran ke Nunukan, dan pemkot membangun rumah singgah untuk menampung 6000 orang. Rumah itu masih ada, toiletpun masih berfungsi. What a life!
Makanan khas di Nunukan dibuat oleh orang Bugis dan Flores, masyarakat mayoritas di sana. Kami mencoba es pisang hijau, yaitu pisang yang digoreng dengan tepung berwarna hijau dan dimasukkan dalam es campur ber santan. Slurups, nikmat!
Salah satu hiburan malam ialah pasar malam. Mirip dengan di Jawa, mereka menawarkan barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Listrik belum 24jam menyala, maka masyarakat benar-benar sadar diri. Setelah tidur, mereka mematikan lampu. Alhasil, banyak sekali kegelapan di sudut-sudut jalan hehehe.
Warung internet buka 24jam menggunakan genset, dan banyak rumah memiliki genset untuk backup penerangan mereka, seperti juga di rumah yang saya tinggali. Feels home everywhere!
To be continue..
Kota Tarakan berbeda pulau dengan kota Banjarmasin, dan Nunukan juga pulau yang berbeda pula. Maka dari Kota Tarakan, kita dihadapkan pada dua pilihan untuk mencapai Nunukan: terdapat 2kali penerbangan (pagi dan sore) dan ada empat hingga lima kali pelayaran dengan speed boat. Setelah menimbang-nimbang, hari itu kami memilih pilihan kedua! Yiha!
Speed boat kami bertolak pukul 15 sore WITA. Kapal dgn kapasitas 20orang itu digerakkan dengan mesin (istilahnya 3mesin). Maka, kami akan tiba dalam 2jam.
Laut lepas ini dangkal, di kiri kanan masih terlihat gunungan pasir kecoklatan. Saya duduk dekat kemudi dan dia bercerita bahwa minggu lalu perahu mereka karam di situ. Lalu bagaimana bisa kembali? Cara pertama adalah menunggu air pasang, atau menunggu perahu lain lewat. Haha! Teman laki-laki saya pernah menjadi pelaut. Dia sangat menikmati ayunan kapal dihempas ombak. Angin laut sepoi-sepoi menidurkannya.
Kami tiba di dermaga sesuai jadwal, dijemput hujan. Seorang teman sudah siap menjemput dan mengantarkan kami putar-putar kota. Ada sebuah alun-alun di sana. Tidak ada pompa bensin, adanya kios penjual bensin literan yang diambil dari Tawau, Malaysia. Ada sebuah bangunan besar berbentuk sekolahan yang telah dibangun beberapa tahun sebelumnya, tetapi sayang sekali tidak dilanjutkan. Di malam hari, bangunan itu terlihat seperti rumah hantu :)
Loket penerbangan, bandara, dan pasar ikan banyak di sana. Selain itu, ada juga kantor imigrasi. Ya, Nunukan ialah pintu menuju Malaysia, dimana lapangan kerja kebun kelapa sawit terbuka untuk WNI. Sayangnya, tak semua WNI kita bisa membaca. Maka ketika mereka dibohongi, sempat terjadi pemulangan besar-besaran ke Nunukan, dan pemkot membangun rumah singgah untuk menampung 6000 orang. Rumah itu masih ada, toiletpun masih berfungsi. What a life!
Makanan khas di Nunukan dibuat oleh orang Bugis dan Flores, masyarakat mayoritas di sana. Kami mencoba es pisang hijau, yaitu pisang yang digoreng dengan tepung berwarna hijau dan dimasukkan dalam es campur ber santan. Slurups, nikmat!
Salah satu hiburan malam ialah pasar malam. Mirip dengan di Jawa, mereka menawarkan barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Listrik belum 24jam menyala, maka masyarakat benar-benar sadar diri. Setelah tidur, mereka mematikan lampu. Alhasil, banyak sekali kegelapan di sudut-sudut jalan hehehe.
Warung internet buka 24jam menggunakan genset, dan banyak rumah memiliki genset untuk backup penerangan mereka, seperti juga di rumah yang saya tinggali. Feels home everywhere!
To be continue..
Comments